ESAI BUKU
Mien Brodjo
“ Dewi Shinta Berjiwa
Kesatria “
Biografi dari Buku Setelah Angin Kedua ( Sri Iswati
- Putri Takarini )
Tutur
kata lembut, menjaga tata krama adat Jawa, di satu sisi juga merupakan perempuan
yang lincah, enerjik, ngeyelan, namun
serba bisa adalah karakter dari seorang pemain teater, pelukis, sekaligus atlet
loncat indah yang bernama lengkap Siti
Sukatminah Brodjoewirjo. Siti Sukatminah atau Mien Brodjo lahir di Srandakan,
Bantul, D.I.Y pada 11 Maret 1937,pada masa kanak – kanak kerap kali beliau dipanggil
“ Sukat “ oleh teman dekat dan keluarga serta saudara – saudaranya. Nama
populer Mien Brodjo diambil dari nama Sukatminah, dan Brodjo diambil dari nama
terakhir Ayahanda beliau, Brodjowirjo. Jika dibaca mendalam di dalam buku
autobiografi Setelah Angin Kedua, beliau secara tidak langsung adalah keturunan
dalam Istana Kasultanan Yogyakarta, Ayahanda beliau adalah putra Raden Ngabehi
Pantjawirjo merupakan pengawal raja yang dikenal memiliki kesaktian pada masa
itu. Meskipun Mien dilahirkan dari kalangan ningrat atau bangsawan, menurut
kesaksiannya, beliau mengakui kurang suka dibilang ningrat atau priayi, beliau
menerangkan bahwa di dalam kehidupan penjajahan yang serba susah, jika tetap
merasa menjadi priayi dan tidak bergabung dengan masyarakat kalangan bawah
tidak pas disebut bangsawan yang sejati, meski pangkat ningrat yang secara
tersirat tersemat di dalam dirinya, tidak meruntuhkan niat untuk tetap bergaul
dengan teman – teman dari kalangan biasa.
Minat berkesenian dalam diri Mien Brodjo sudah
nampak pada masa kecilnya, di masa remajanya, ia aktif di dalam mengikuti
kesenian tari, dan mengikuti drama massal di sekolahnya. Hal menyakitkan yang
dialami Mien Brodjo menurut beliau adalah saat tidak diperbolehkan memasuki
SSRI ( Sekolah Seni Rupa Indonesia ) karena di dalam keluarga, kesenian
dianggap kurang penting dan tidak mampu menghasilkan banyak nafkah bagi
keluarga. Beliau dimasukkan ke SGPD ( Sekolah Guru Pendidikan Djasmani), di
SGPD kegiatan olahraga lebih bervariasi, terutama untuk olahraga senam dan
berenang yang nanti membawanya mewakili Indonesia di dalam ASEAN Games pada
masa itu. Hal unik di dalam pendidikan Mien Brodjo adalah beliau pernah belajar
rangkap sekolah, di SGPD dan Asdrafi, tidak sekedar main atau mengobrol, namun
juga ia mengikuti pelajaran yang disampaikan dosen-dosennya, hingga akhirnya
beliau ketahuan dan terkena skorsing. Pendidikan yang keras dan disiplin
terhadap aturan membuat perubahan di dalam diri Mien Brodjo saat berkesenian,
bermasyarakat, dan berkeluarga.
“ Menyelam sambil minum air “ merupakan
ungkapan yang cocok di dalam karier seorang Mien Brodjo, kecintaannya di dalam
dunia seni dan olahraga tidak menyurutkan niat untuk terus berkarier. Dedikasi
yang besar terhadap olahraga loncat indah beliau tunjukkan di dalam kesetiannya
di dalam mengikuti training – training yang
dilakukan, meski berhadapan dengan ketatnya aturan dan tingginya kedisiplinan.
Berkat dedikasinya terhadap loncat indah mengantarnya ke ASIAN Games untuk
bertarung mewakili Indonesia di kancah internasional dan mendapatkan peringkat
keempat meskipun tanpa mendapatkan medali penghargaan.Dedikasi yang sama
ditunjukkan dalam berkesenian, terutama teater, beliau menganggap bahwa
berteater tidak selalu mudah, namun tidak terlalu sulit juga, yang terpenting
dari setiap hal yang kita lakukan adalah melakukan dengan hati, makna dari
melakukan dengan hati adalah mencintai setiap pekerjaan yang kita lakukan,
seperti pepatah Jawa witing tresno
jalaran soko kulino atau yang diartikan cinta dapat tumbuh karena terbiasa,
apabila hal dilakukan dengan kecintaan, maka beban yang dirasakan tidak terlalu
berat di dalam menjalaninya. Di dalam berkesenian,pentas perdananya adalah
pementasan “ Malam Djahanam “ yang disutradarai Motinggo Busye, banyak pemain
yang dites dan diseleksi, beberapa lolos yang termasuk salah satunya adalah
Mien Brodjo. Mien Brodjo juga tampil dengan seniman – seniman lain seperti W.S
Rendra, Kusno Soedjarwadi, Mark Sungkar. Di dalam film layar lebar ia pernah
membintangi “ Tangan – Tangan Kotor “ yang mendapat penghargaan di Festival
Film Asia Afrika, “ Sisa-sisa Laskar Pajang “, “ Mutiara Hitam “, dan “ Anak –
anak malam “ bersama Rano Karno dan Ira Wibowo. Ia juga kerap tampil di dunia
sinetron era 60-an seperti “ Anak Indonesia “ , “ Balada Dangdut “ dan “Cucu
Tersayang “ dimana beliau mendapatkan nominasi pembantu artis terbaik. Di dunia
melukis beliau menjadi anggota dari Sanggar Bambu di Jakarta, dan banyak karya
beliau yang ditampilkan di pameran – pameran.
Salah satu hal yang mendasari kehidupan adalah
keluarga, terutama bagi suami, Mien Brodjo memiliki pendapat yang unik, bahwa “
Cinta itu jangan 100 % milik pasangan, sebaiknya 70 % untuk pasangan dan 30 %
untuk diri sendiri ,“ menurut beliau bahwa jika 100 % cinta untuk suami maka
penghargaan terhadap diri sendiri tidak ada, jika suami sudah tidak ada baik
bercerai hidup maupun bercerai karena meninggal maka hidup akan terpuruk. Awal
kisah percintaan beliau dengan Drs. Soemiado terkesan “ menggantung “, awal
pernikahan tidak melangsungkan pertunangan, namun langsung pernikahan karena saran
dari saudara beliau tentang pertunangan yang terkesan njelimet atau berbelit. Hal itu juga didasari dengan Drs. Soemiado
yang saat itu bekerja di luar Jawa sehingga sulit berkomunikasi apabila tidak
segera menikah. Di dalam keluarga, Drs. Soemiado terkenal dengan pribadi yang
sabar, santun di dalam menghadapi istrinya ( Mien Brodjo ). Disaat ada
pertengkaran kecil, biasanya suami beliau hanya tersenyum dan apabila sudah
mereda maka suami beliau biasanya melontarkan guyonan yang terkesan menggoda, sehingga keluarga mereka dapat
kembali akur. Sibuknya jadwal Mien Brodjo di dalam berteater seringkali membuat
suaminya melarang, agar tidak berlebihan di dalam bekerja. Salah satu motivasi
beliau di dalam hidup adalah “ Kita tidak kuasa mengatur arah angin, tetapi
kita dapat mengatur bagaimana memasang layar “ yang beliau ungkapkan bahwa
meskipun arah hidup kita yang terkadang tidak menentu,namun diri sendiri lah
yang ‘ membawa ‘ diri sebagaimana yang diinginkan.
Buku Setelah Angin Kedua karangan Sri Iswati
dan Putri Takarini mengenai kehidupan Mien Brodjo menggunakan gaya bahasa tidak
baku atau bahasa sehari – hari, dapat dilihat seperti pada halaman 74, paragraf
1, “ Makanya pandangan – pandangan bagaimana membina rumah tangga seperti dalam
buku Dale Carnegie, sudah aku resapi jauh sebelum menikah” dari kalimat
tersebut dapat mudah dipahami, bahwa sebelum menikah, seorang Mien Brodjo
membaca literatur mengenai kehidupan pasca pernikahan mengenai rumah tangga
agar dapat menjadi panduan di dalam hidup berumah tangga. Ungkapan – ungkapan
di dalam buku tersebut juga banyak ditemukan, kebanyakan menggunakan kosakata
Bahasa Jawa, seperti ngenyek (menghina),
nggondok (sebal), “Aja gething mengko nyandhing” (jangan
membenci kelak jadi pendamping). Penggambaran cerita juga berurutan, dapat
dilihat pada daftar isi buku yang berurutan dari masa kecil beliau hingga masa
tua, dan prestasi – prestasi yang beliau raih semasa berkarier ( Kenangan Masa
Muda – Menjadi Atlet – Menjadi Artis – Berkeluarga – Hari Tua ). Penulis buku
menggambarkan tokoh dengan jelas, dapat dibuktikan dan ditemukan bahkan hingga
riwayat mendetail seperti kisah mengenai penggemar beliau dari Banjarmasin (
bagian. Tiada Surat dari Banjarmasin ) yang
selalu bersurat dengan beliau, bahkan hingga surat yang beliau dapat dirobek
oleh orang tuanya, dapat dilihat bahwa penulis menuliskan bagian – bagian kecil
dari kisah hidup Mien Brodjo.
Srikandi Indonesia mungkin salah satu ungkapan
yang cocok bagi beliau ( Mien Brodjo ), dibalik sikap beliau yang santun dan
penuh dengan tata krama, juga sifat dasar beliau yang lincah dan serbabisa.
Serba bisa bukan diartikan bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan waktu
bersama – sama dan berhasil, namun lebih dimaknai bahwa segala sesuatu yang
beliau lakukan selalu dikerjakan dengan teratur dan berhasil. Pendapat beliau
tentang bekerja dengan hati juga salah satu pedoman di dalam bekerja, dedikasi
dan ‘keringat’ beliau dalam berkesenian, belajar, berolahraga, serta
berkeluarga adalah salah satu faktor yang menjadikan beliau sukses, sukses
dalam berkarier juga dalam hidup. Dedikasi beliau terhadap kesenian, terutama
teater dibuktikan dengan diraihnya penghargaan – penghargaan dari teater dan
layar lebar yang beliau perankan, seperti “ Tangan-Tangan Kotor” yang mendapat
penghargaan film terbaik di Festival Film Asia Afrika , serta “ Cucu Tersayang”
dimana beliau mendapat nominasi sebagai pemain pembantu artis terbaik. Kasih
sayang beliau di dalam keluarga juga menjadi pedoman dalam hidup berkeluarga,
beliau menerima suami dengan baik, dan saling menghargai keputusan masing –
masing, dibuktikan dengan beliau menerima keputusan suami bahwa ia dilarang untuk
syuting di luar pulau Jawa agar mudah dijenguk dan ditemui oleh keluarga.
Keras terhadap keluarga adalah salah satu
kekurangan tokoh yang dapat dilihat dari halaman 72 “ Ketika itu aku dan
suamiku cuma putar-putar Kota Jakarta sambil bicara serius soal wanita lain
itu. Aku sudah sempat mengucapkan kata cerai ketika itu. “ Sikap beliau yang
terburu – buru dan berujung perceraian bukanlah keputusan yang tepat karena
berkaitan dengan pernikahan. Dedikasi beliau di dalam berkarier patut
diteladani, terlebih pada masa ini yang bekerja keras dengan dasar menginginkan
banyak harta, harta memang penting, namun dedikasi terhadap pekerjaan lebih
penting, dengan dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan, secara tidak langsung
kita juga bersyukur dan ikut mengembangkan pekerjaan yang kita lakukan,
meskipun hal yang kita lakukan terkesan kecil dan kurang bermakna bagi orang
lain, apabila dilakukan dengan keyakinan dapat menghasilkan ‘buah’ kerja yang
besar, berbeda hal apabila dilakukan semata – mata demi uang, uang yang
dihasilkan memang besar, namun kita tidak menikmati proses kehidupan yang
bergulir di dalam pekerjaan yang kita lakukan dan cenderung menjadi pekerjaan
yang terus berlarut-larut.
Dedikasi, dan rendah hati merupakan dua hal
penting di dalam hidup yang harus dipedomani dari tokoh ( Mien Brodjo ).
Dedikasi dapat menimbulkan rasa cinta dan memiliki dan ingin terus
mengembangkan hal yang kita lakukan agar dapat lebih baik di perjalanan hidup,
sikap dedikasi mengajarkan bahwa sesuatu yang dilakukan dengan cinta
menghasilkan ‘buah’ yang besar dan bermanfaat.Pekerjaan yang dilakukan dengan
beban hanya menghasilkan rasa lelah tidak berujung yang hanya membebani kita. Rendah
hati, kepada sesama, dan rendah hati kepada Tuhan merupakan salah satu
keteladanan yang penting dan berkaitan. Rendah hati kepada sesama ditunjukkan
dengan sikap beliau yang meskipun keturunan ningrat namun tetap dapat bergaul
dengan semua kalangan. Rendah hati kepada Tuhan ditunjukkan beliau dengan tetap
bersyukur dan selalu optimis di dalam menjalani kehidupan bahwa setiap
perjalanan kehidupan kita sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa dan kita yang
menjalankan dengan sepenuh hati.
Komentar
Posting Komentar