OPINI KRITIS


Zonasi atau Diskriminasi ?

Mencari sekolah saat ini dapat dikatakan sama sulit seperti mencari sebuah pekerjaan. Lulusan tingkat SD dan SMP adalah yang paling merasakan dampak dari sistem zonasi yang mulai diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy secara tersirat menyatakan bahwa pada dasarnya semua mutu sekolah sama, tidak ada yang lebih unggul atau lebih rendah ‘derajat’nya. Meskipun seorang siswa/i sudah menjalankan Ujian Nasional, tidak menampik dapat terdepak dari sekolah lanjutan yang diinginkan apabila nilai yang diperoleh saat Ujian Nasional tidak memungkinkan untuk masuk dalam list luar zona yang sudah ditentukan oleh dinas pendidikan terkait. Berkaitan dengan sistem zonasi yang diterapkan, Muhadjir menyanggah meskipun siswa/i berdomisili di luar zona, tetap dapat mendaftar pada sekolah yang diinginkan, karena Kementerian Pendidikan masih memberikan batas 10% pendaftar dari luar zona yang ditentukan. Hal itu dilakukan karena pengkotak – kotakkan pola pikir masyarakat yang masih menganggap bahwa SMA 1 tentu lebih berkualitas daripada SMA 18, pola pikir masyarakat seperti itu yang mulai di ‘tumpas’ oleh pemerintah, dan menjadi dasar dari pelaksanaan sistem zonasi yang berlaku saat ini. Dasar utama dari pelaksaan sistem zonasi menurut Kementerian Pendidikan adalah banyaknya siswa yang pada dasarnya memiliki domisili yang lebih dekat dengan sekolah lanjutan, namun memilih sekolah lanjutan di luar dari domisili siswa/i yang bersangkutan dengan alasan lebih berkualitas dan berkompeten. Yang menjadi problematika pada masyarakat saat ini adalah kurangnya informasi, dan  pendampingan orang tua terhadap para siswa/i mengenai penerapan dari sistem zonasi PPDB, sehingga informasi antara orang tua dengan maksud yang diinginkan pemerintah menjadi rancu atau tidak sinkron. Masyarakat  berpendapat bahwa penerapan sistem zonasi PPDB berarti mempersulit siswa/i untuk mendaftar sekolah lanjutan yang berkualitas, di lain sisi pemerintah memberikan pernyataan bahwa sistem zonasi dilakukan demi pemerataan kualitas pendidikan yang tidak merata disetiap pelosok daerah di Nusantara, agar tidak terjadi diskriminasi pola pikir antara sekolah unggulan dengan sekolah terbelakang.
Kurangnya informasi yang benar terkait zonasi PPDB mulai terasa dampaknya di masyarakat. Akibatnya, ditemukan beberapa kasus bunuh diri, seperti contohnya adalah kasus bunuh diri siswa lulusan SMPN 1 Blitar, lantaran drop mental menghadapi carut marut sistem PPDB yang baru diterapkan belakangan ini. Kurangnya penyuluhan pendidikan di masyarakat tentang sistem zonasi dapat berakibat fatal, terutama pada mental para siswa/i yang pada usia remaja masih tidak stabil dan butuh pendampingan lebih dari orang tua murid. Dampak dari sistem PPDB yang baru lebih terasa bagi lulusan SMP, karena masyarakat berpendapat bahwa dengan mendapatkan SMA negeri tentu biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan dengan masuk ke SMA milik swasta, selain itu berkeyakinan bahwa setelah lulus dari SMA negeri, maka lebih mudah melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri. Namun, pada dasarnya sistem penerimaan ke PTN berbeda dengan sistem penerimaan di jenjang SD, SMP, dan SMA. Sistem penerimaan PTN lebih mengutamakan nilai rapor selama SMA ( SNMPTN ) atau seleksi tertulis masuk ke PTN ( SBMPTN ).
Sebagai kaum muda yang memasuki era teknologi maju, kita harus 'melek' terhadap segala informasi di sekeliling kita, karena informasi saat ini mudah didapatkan hanya dengan menekan gawai yang dimiliki. Namun, tidak memungkiri harus selalu selektif di dalam mencerna setiap informasi yang ada, agar tidak berakibat fatal, terlebih seperti informasi mengenai PPDB tersebut, akibat dari informasi yang diterima tidak cukup, membuat mental menjadi down dan kalah sebelum bertanding. Penulis tegaskan kembali, mengenai zonasi PPDB pada dasarnya dibuat untuk memudahkan siswa di dalam menempuh pendidikan lanjutan, serta mengurangi pemikiran masyarakat tentang sekolah unggulan maupun non-unggulan (biasa saja). Di satu sisi mempunyai dampak negatif yaitu pada sistem yang masih terkesan ' coba - coba ' agar lebih dimatangkan kembali. Pemordenisasian sistem pendidikan pada dasarnya dilakukan agar terjadi pemerataan pendidikan, tidak mengenal status sosial, kekayaan, maupun jabatan. Pendidikan bukan melulu untuk yang mampu bersekolah secara finansial, namun juga masyarakat yang menengah ke bawah, agar dapat menikmati pendidikan secara keseluruhan dan membangun Indonesia menjadi lebih baik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ESAI BUKU

WIRAUSAHABISA!